Siapa Raja Pertama Prancis

Siapa Raja Pertama Prancis

Siapa Paus pertama dalam agama Katolik?

Paus pertama dalam agama Katolik adalah Saint Peter atau yang juga dikenal sebagai Santo Petrus. Ia adalah salah satu sahabat terdekat Yesus, sekaligus juga menjadi Paus pertama gereja Katolik. Dalam ajaran Katolik, ia merupakan pemimpin dari dua belas Rasul yang tercantum dalam Alkitab. Setelah penyaliban dan kebangkitan Kristus, Santo Petrus mulai menyebarkan agama Kristen kepada semua orang.

Bersama Paulus, Petrus melakukan perjalanan dan menetap di Roma, Italia. Gak hanya menyebarkan ajaran Kristen Katolik, Petrus juga diyakini sebagai orang yang membangun gereja pertama di Roma. Ribuan tahun berlalu setelah kepergiannya pada tahun 64 Masehi, kini ada lebih dari 260 orang yang pernah menduduki posisi terhormat sebagai pemimpin umat. Namun nama Santo Petrus tetap menjadi tokoh yang paling istimewa bagi penganut agama Kristen Katolik.

Wafatnya Santo Petrus

Pada tahun 18 Juli tahun 64 Masehi, sebuah kebakaran besar terjadi di area pertokoan Circus Maximus, Roma. Api dengan cepat merambat kemana-mana, dan melalap rumah warga yang mayoritas terbuat dari kayu. Api memang berhasil dipadamkan beberapa hari setelahnya, namun saat itu terjadi, sekitar 70 persen kota sudah hangus. Saat kebakaran besar itu terjadi, Roma berada di bawah kekuasaan Kaisar Nero yang terkenal kejam.

Bukannya fokus menolong warga, sang kaisar justru menyalahkan orang-orang Katolik di Roma. Akibatnya, orang-orang ini pun mengalami penyiksaan. Mulai dari diumpankan ke binatang, hingga disalib. Santo Petrus menjadi salah satu orang yang meninggal karena disalib. Namun berbeda dari Yesus, ia lebih memilih disalib terbalik dengan kepala di bawah karena merasa dirinya gak layak meninggal seperti Yesus.

Penguasa Kerajaan Prancis telah berkuasa sejak pendirian Kerajaan Francia Barat pada tahun 843 hingga keruntuhan Kekaisaran Kedua Prancis pada tahun 1847, dengan beberapa interupsi. Mulai dari periode Raja Karl yang Botak pada tahun 843 hingga Raja Louis XVI pada tahun 1792, Prancis mempunyai 45 raja yang pernah berkuasa. Dengan menambahkan 7 kaisar dan raja yang berkuasa setelah terjadinya Revolusi Prancis, total seluruh penguasa Prancis adalah sebanyak 52 orang.

Pada Agustus 843, Perjanjian Verdun membagi negeri kaum Franka menjadi tiga kerajaan, satu di antaranya (Francia Tengah) tidak bertahan lama; dua lainnya berkembang menjadi Prancis (Francia Barat) dan, nantinya, Jerman (Francia Timur). Pada saat itu, wilayah bagian timur dan barat negeri tersebut sudah memiliki bahasa dan budaya yang berbeda.

Pada awalnya, kerajaan ini dikuasai terutama oleh dua dinasti, Karoling dan Robertian, yang memerintah secara bergantian dari tahun 843 hingga 987, ketika Hugh Capet, leluhur dinasti Kapetia, naik takhta. Para penguasa kerajaan ini menggunakan gelar "Raja Orang Franka" hingga akhir abad kedua belas; penguasa pertama yang memakai gelar "Raja Prancis" adalah Philippe II yang memerintah dari tahun 1180 hingga 1223. Dinasti Kapetia terus berkuasa dari tahun 987 hingga 1792 dan sekali lagi dari tahun 1814 hingga 1848. Namun, cabang-cabang dinasti Kapetia yang berkuasa setelah tahun 1328, umumnya diberi nama khusus Valois (hingga tahun 1589), Bourbon (dari tahun 1589 hingga 1792 dan dari tahun 1814 hingga 1830), dan Orléans (dari 1830 hingga 1848).

Dalam kurun waktu singkat ketika Konstitusi Prancis 1791 berlaku (1791–92) dan setelah Revolusi Juli tahun 1830, gelar "Raja Rakyat Prancis" mulai digunakan sebagai ganti gelar "Raja Prancis". Hal ini merupakan inovasi konstitusional yang dikenal dengan istilah monarki populer, yang menghubungkan gelar raja dengan rakyat Prancis ketimbang kepemilikan wilayah Prancis.[1]

Bersama dengan Wangsa Bonaparte, "kaisar Prancis" berkuasa di Prancis pada abad ke-19 antara tahun 1804 dan 1814, sekali lagi pada tahun 1815, dan antara tahun 1852 dan 1870.

Dari abad ke-14 hingga tahun 1801, raja Inggris (dan kemudian Britania Raya) mengklaim takhta Prancis, meskipun klaim tersebut hanya murni sebatas nama kecuali pada periode singkat selama Perang Seratus Tahun ketika Henry VI dari Inggris memiliki kendali atas sebagian besar wilayah Prancis Utara, termasuk Paris. Pada tahun 1453, sebagian besar orang Inggris sudah diusir dari Prancis dan klaim Henry sejak saat itu dianggap tidak sah; historiografi Prancis umumnya tidak mengakui Henry sebagai raja Prancis.

Gelar "Raja Orang Franka" (bahasa Latin: Rex Francorum) berangsur-angsur hilang setelah tahun 1190, selama masa pemerintahan Raja Philippe II (tetapi gelar FRANCORUM REX terus digunakan, contohnya oleh Louis XII pada tahun 1499, oleh François I pada tahun 1515, dan oleh Henri II sekitar tahun 1550). Gelar ini digunakan pula pada koin hingga abad kedelapan belas.[a] Dalam kurun waktu singkat ketika Konstitusi Prancis 1791 berlaku (1791–92) dan setelah Revolusi Juli tahun 1830, gelar "Raja Rakyat Prancis" mulai digunakan sebagai ganti gelar "Raja Prancis (dan Navarra)". Hal ini merupakan inovasi konstitusional yang dikenal dengan istilah monarki populer, yang menghubungkan gelar raja dengan rakyat Prancis ketimbang kepemilikan wilayah Prancis.[1]

Selain Kerajaan Prancis, berdiri pula dua Kekaisaran Prancis, yang pertama dari tahun 1804 hingga 1814 dan sekali lagi pada tahun 1815, didirikan dan dikuasai oleh Napoleon I, dan yang kedua dari tahun 1852 hingga 1870, didirikan dan dikuasai oleh keponakannya Napoleon III (juga dikenal dengan nama Louis-Napoleon). Mereka menggunakan gelar "Kaisar Prancis".[3][4]

Nama Prancis berasal dari suku bangsa Jermanik yang disebut Franka. Raja-raja Merovingia pada awalnya adalah kepala-kepala suku, yang paling awal adalah Chlodio, kemungkinan ayah dari Merovek, yang menurunkan Dinasti Merovingia. Clovis I, cucu Merovek, adalah orang pertama yang menjadi raja. Setelah kematiannya, kerajaannya dibagi di antara anak-anaknya, Soissons (Neustria), Paris, Orléans (Burgundy), dan Metz (Austrasia). Beberapa raja Merovingia berhasil mempersatukan kembali kerajaan tersebut. Tapi setelah kematian mereka, sesuai tradisi bangsa Franka, kerajaannya dipecah-pecah lagi di antara anak-anak mereka. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Daftar Raja Franka.

Raja wangsa Meroving yang terakhir, yang dikenal sebagai raja malas, tidak memegang kekuasaan apa pun, sementara Wali kota Istana yang sebenarnya memerintah. Ketika Theuderic IV meninggal tahun 737, Wali kota Istana Charles Martel membiarkan takhta tersebut kosong dan terus memerintah hingga ia meninggal tahun 741. Anaknya, Pippin dan Carloman, pada mulanya mengangkat Childeric III sebagai raja pada tahun 743, tetapi pada tahun 751 Pippin menggulingkan Childerich dan naik takhta sendiri.

Dari raja-raja dinasti Karoling, tiga di antaranya bukan dari dinasti Karoling, yaitu Odo dan saudaranya, Robert I, dan menantu Robert, Raoul/Rudolph. Akhirnya dinasti Robert menjadi Dinasti Kapetia ketika Hughues Capet (anak Hughues yang Agung, anak Robert I) naik takhta tahun 987.

Wangsa Kapetia dari keturunan Hugh Kapet, memerintah Prancis mulai tahun 987 hingga 1792 (Revolusi Prancis), dan memerintah sesaat kemudian pada 1814 hingga 1848. Cabang dinasti ini yang memerintah setelah 1328 disebut dengan nama cabangnya, yaitu Wangsa Valois dan Wangsa Bourbon.

Periode negara ini ditandai dengan jatuhnya monarki, pembentukan Konvensi Nasional dan hal yang terkenal yaitu diadakannya Pemerintahan Teror, pendirian Direktori Prancis dan Reaksi Thermidorian, dan akhirnya, pedirian Konsulat Prancis dan kebangkitan kekuasaan Napoleon I. Periode ini berlangsung tahun 1792 hingga 1804, ketika konsul Napoléon Bonaparte dinobatkan sebagai Kaisar Prancis.

Republik Kedua Prancis berlangsung tahun 1848 hingga 1852, ketika presiden Louis-Napoléon Bonaparte diangkat sebagai Kaisar Prancis.

Dibentuk setelah kekalahan Louis-Napoléon dalam Perang Prancis-Prusia pada tahun 1870 yang mengakibatkan jatuhnya Kekaisaran Prancis Kedua dan berakhir dengan terbentuknya Vichy Prancis setelah Pertempuran Prancis oleh Nazi Jerman pada tahun 1940.

Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag yang berkaitan

Nationalgeographic.co.id – Raja Charles III telah resmi dinobatkan menjadi raja Kerajaan Inggris. Dia dinobatkan karena garis keturunan leluhurnya.

Namun, dulu di awal kerajaan berdiri, apa yang membuat seorang bisa menjadi raja? Apakah otoritasnya atas penduduk di suatu wilayah atau kekuasaannya di suatu wilayah? Apakah mungkin karena seseorang mengenakan mahkota sehingga ia diangkat menjadi raja?

Ini adalah pertanyaan kunci untuk menentukan kapan dan mengapa suatu kerajaan berkembang. Contohnya, dalam kasus Kerajaan Inggris, siapa raja pertama di Inggris, sebelum singgasana kerajaan itu kini diduduki oleh Raja Charles?

Sejarah mencatat, Aethelstan dinobatkan sebagai Raja Anglo-Saxon pada tahun 925 dan konsensus ilmiah menempatkannya sebagai raja pertama Inggris. Jawaban ini terkesan singkat, tetapi cerita sejarahnya cukup panjang dan berbelit untuk diuraikan dan disepakati.

Cerita dimulai dengan Angles

“Untuk benar-benar mulai menemukan raja pertama Inggris, seseorang harus mulai dengan Angles,” tulis Melissa Sartore di laman National Geographic.

Nama England atau Inggris berasal dari kata Inggris Kuno Englaland, yang secara harfiah berarti tanah para Angles. Kedatangan suku-suku Jermanik ini ke tempat yang dulunya merupakan provinsi Romawi Britannia itu terjadi pada abad ke-5. Di samping Jute, Saxon, dan Frisia, Angles mendirikan permukiman di tenggara dan timur Inggris selama abad ke-6.

Seiring waktu, bahasa dan budaya Jermanik menyatu dengan praktik dan tradisi Romawi-Inggris yang ada. Pada tahun 600 Masehi, masing-masing kerajaan terbentuk di seluruh Kepulauan Inggris.

Kerajaan Jermanik ini dibentuk sesuai dengan orang-orang yang tinggal di suatu daerah, berlawanan dengan batas atau perbatasan fisik. Belakangan, kerajaan-kerajaan yang lebih kecil bergabung menjadi lebih besar, dan apa yang disebut Heptarkhia muncul.

Heptarkhia adalah penyederhanaan yang sangat besar dari pengaturan sosial, politik, dan agama yang kompleks di Inggris. Heptarkhia dibentuk dari tujuh kerajaan: Wessex, Kent, Sussex, Mercia, East Anglia, Northumbria, dan Essex.

Setiap kerajaan besar mencakup kerajaan kecil dengan pemimpinnya sendiri. “Banyak di antaranya bersaing untuk mendapatkan kekuasaan dalam lingkup pengaruh yang lebih besar,” tambah Sartore.

Aturan diciptakan dan dipertahankan melalui hubungan timbal balik yang didasarkan pada kesetiaan dan perlindungan. Sistem ekonomi bergantung pada iuran dan layanan yang terkoordinasi.

Peran Mercia dan bretwalda

Kerajaan-kerajaan besar di Inggris saling bersaing untuk menjadi yang teratas. Pada akhirnya menghasilkan perjuangan yang berputar di sekitar Kerajaan Mercia yang mendominasi kerajaan lain selama sebagian besar abad ke-8.

Ini mirip dengan apa yang dijelaskan Bede dalam Ecclesiastical History. Di sana disebutkan ada seorang penguasa yang "berkuasa" atas orang-orang di luar kerajaannya sendiri.

Kronik Anglo-Saxon menggunakan istilah bretwalda untuk mewakili konsep ini. Kronik itu menerapkan istilah tersebut pada raja-raja Anglo-Saxon yang memerintah sejak akhir abad ke-5.

Sejarah mencatat, hegemoni Mercia akhirnya bergeser, terutama pada masa pemerintahan Raja Eghbert dari Wessex (memerintah 802-839 Masehi). Di bawah Raja Eghbert, Wessex mengalahkan bangsa Mercia di pertempuran Ellendon pada tahun 825 Masehi. Setelah itu kerajaan-kerajaan besar mengakui supremasinya.

Kronik Anglo-Saxon mengidentifikasi Raja Eghbert sebagai seorang bretwalda. Identifikasi tersebut berfungsi sebagai inti dari dasar argumentasi sebagian orang bahwa Eghbert adalah raja pertama Inggris.

Apakah Raja Eghbert benar-benar bisa disebut sebagai raja pertama Inggris? Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Wessex di bawah kendali Eghbert memang berhasil melakukan suksesi damai untuk keturunannya. Namun, kekuasaan kerajaannya belum benar-benar luas di Tanah Inggris.

Setelah kematian Eghbert, sang putra Aethelwulf naik takhta. Seorang putra yang naik tahta setelah kematian ayahnya ini menanamkan prinsip suksesi turun-temurun di Wessex.

Setelah kematian Raja Aethelwulf, tiga putranya menjabat sebagai Raja Wessex, yang akhirnya mengarah pada suksesi yang keempat pada tahun 871 Masehi. Ini adalah Alfred, pesaing lain yang juga kerap dianggap sebagai Raja Inggris pertama.

Alfred, penguasa yang tidak terduga

Alfred seharusnya tidak pernah memerintah Wessex. Ketika kakak laki-lakinya Aethelred meninggal saat berkampanye melawan perampok Skandinavia, Alfred menjadi raja.

Sebagai Raja Wessex, Alfred terus mempertahankan kerajaannya dari apa yang disebut Kronik Anglo-Saxon sebagai Great Heathen Army. Terdiri dari orang Denmark, Norwegia, dan Swedia, Great Heathen Army pertama kali tiba di Anglia Timur pada tahun 865 Masehi. Dalam satu dekade, satu-satunya kerajaan yang bertahan adalah Wessex.

Setelah mengalahkan pasukan Skandinavia di Pertempuran Edington pada tahun 878 Masehi, Alfred membuat perjanjian damai dengan pemimpin mereka, Guthrum. Perjanjian itu secara resmi menetapkan batas antara Wessex dan wilayah yang dikuasai Viking.

Namun, kehadiran permanen Skandinavia di utara, serangan Viking yang terus berlanjut, mendorong Alfred untuk mengambil langkah mengamankan kerajaan. Dia mereformasi militer dan mendirikan permukiman pertahanan. Alfred juga mendirikan angkatan laut untuk mempertahankan pantai Wessex dari serangan.

Bersamaan dengan upaya ini, Alfred melakukan aktivitas intelektual yang dianggap membantu menciptakan identitas budaya dan politik Inggris. Semua ini — dan penunjukan Alfred sebagai Raja Anglo-Saxon— menjadi alasan kuat untuk menyebutnya sebagai raja pertama Inggris.

Aethelstan, raja pertama Inggris

Alfred meninggal pada tahun 899 Masehi dan putranya, Edward the Elder, naik takhta. Edward memerintah sampai tahun 924. Setelah kematiannya, putranya Aethelstan dimahkotai sebagai raja pada tahun 925 Masehi.

Sama seperti kakek dan ayahnya, Aethelstan memulai sebagai Raja Anglo-Saxon. Dia berbeda dalam luas wilayah kekuasaannya, terutama setelah Pertempuran Brunaburh pada tahun 937 Masehi.

Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Oleh para sejarawan, ia dianggap sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.

Otoritas Aethelstan tidak pernah terbantahkan. Menurut Kronik Anglo-Saxon, dia juga menjadi raja yang membawa wilayah York dan Northumbria.

Pada tahun 937, raja-raja Skotlandia, Viking Dublin, dan sebagian Wales bersatu melawan Aethelstan. Mereka bertempur di Brunanburh.

Lokasi pasti Brunanburh masih belum jelas. Namun pertempuran yang terjadi di sana dianggap oleh banyak sarjana sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Inggris.

Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan Aethelstan di Brunanburh. Hasilnya, kekuasaan Raja Anglo-Saxon semakin meluas hingga ke Skotlandia dan Wales. Itu juga memperkuat kekuasaannya atas seluruh Inggris.

Baca Juga: Kerap Bernasib Buruk, Benarkah Nama Raja Charles Membawa Kutukan?

Baca Juga: Bintang Afrika, Berlian Kontroversial di Tongkat Kerajaan Charles III

Baca Juga: Sejarah Dramatis Mahkota St Edward yang Digunakan Raja Charles III

Aethelstan hanya hidup selama 2 tahun setelah pertarungan tersebut. Namun bagi banyak orang, dia menjadi raja Inggris pertama yang sebenarnya dengan kemenangan itu.

Pada akhir masa pemerintahan Aethelstan, dia mencapai lebih banyak sentralisasi birokrasi dan administrasi daripada para pendahulunya. Maka tidak heran jika sejarawan menganggap ia sebagai raja pertama Kerajaan Inggris.

Kerajaan itu masih bertahan hingga sekarang, dengan Raja Charles yang kini melanjutkan takhta tersebut.

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

Bobo.id - Bentuk pemerintahan negara Inggris adalah monarki konstitusional, artinya posisi kepala pemerintahan menjadi tanggung jawab perdana menteri dan posisi kepala negara menjadi tanggung jawab raja atau ratu.

Inggris dikenal sebagai negara kerajaan tertua di Eropa yang masih bertahan hingga saat ini, lo.

Tapi, bagaimana sejarah terbentuknya Kerajaan Inggris, ya?

Berikut, penjelasan lengkap mengenai terbentuknya Kerajaan Inggris yang perlu teman-teman ketahui. Yuk, simak!

Awal Mula Kerajaan Inggris

Sebelum mempunyai batas-batas negara dan beberapa anggota persemakmuran seperti sekarang.

Kerajaan Inggris memulai peradabannya pada abad ke- 5, peradaban itu dinamakan Anglo-Saxon.

Peradaban ini bisa membentuk kerajaan karena Suku Jermanik yang berasal dari daratan Eropa bermigrasi ke pulau di sebelah barat laut atau sekarang adalah negara Inggris yang teman-teman kenal.

Pada peradaban Anglo-Saxon inilah terdapat tujuh kerajaan kecil yang akhirnya bersatu di bawah Kerajaan Wessex, yaitu East Anglia, Mercia, Northumbria, Wessex, Essex, Kent, dan Sussex.

Siapa Raja Pertama Kerajaan Inggris?

Diperkirakan, raja pertama Kerajaan Inggris adalah raja yang berasal dari Wessex, yaitu Raja Cedric yang lahir di Saxon, Jerman pada 467 Masehi.

Baca Juga: Kenapa Pasukan Kerajaan Inggris Pakai Topi Tinggi yang Berbulu?

Setelah berhasil mengalahkan penduduk asli Inggris, raja Cedric memerintah dari tahun 519 hingga 534 Masehi.

Kemudian, akibat pertempuran terus-menerus, Kerajaan Inggris diambil alih oleh Raja Egbert dan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Inggris, seperti Kent dan Sussex.

Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Raja Alfred kekuasaan Kerajaan inggris makin meluas dan maju.

Terbentuknya Britania Raya

Lalu, pada masa pemerintahan Raja Ethelstan yang berlangsung dari 924 hingga 939 Masehi.

Kerajaan-kerajaan pada masa peradaban Anglo-Saxon bersatu dan terbentuklah Kerajaan Britania Raya untuk pertama kalinya.

Namun, perebutan kekuasaannya belum berhenti, setelah Ratu Elizabeth I tidak lagi bertakhta.

Britania Raya mulai di bawah kekuasaan Raja James VI dari Skotlandia dan menobatkan diri menjadi Raja James I dari Inggris.

Sehingga, menyebabkan Britania Raya dan Skotlandia bersatu.

Terbentuknya United Kingdom

Seiring berjalannya peradaban, Kerajaan Inggris atau Britania Raya tetap bertahan dan bergabung bersama Irlandia membentuk United Kingdom pada 1 Januari 1801.

Baca Juga: 7 Istana dan Kastil Megah yang Dimiliki Keluarga Kerajaan Inggris, Buckingham hingga Hillsborough

Kemudian membentuk Persemakmuran Inggris (The Commonwealth) pada 1926 atau pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth II, yang anggotanya sebagian besar terdiri dari negara-negara bekas jajahan Inggris.

Perbedaan Inggris, Britania Raya, dan United Kingdom

Karena perjalanan sejarah Kerajaan Inggris yang panjang, teman-teman pasti pernah mendengar istilah Inggris, Britania Raya, dan United Kingdom, bukan?

Banyak orang yang masih bingung dengan istilah ini, sederhananya kita harus memahami kondisi Kepulauan Inggris terlebih dahulu.

Kepulauan Inggris dibagi menjadi beberapa wilayah, yaitu Republik Irlandia, Irlandia Utara, Skotlandia, Inggris, dan Wales.

Lalu, inilah perbedaan Inggris, Britania Raya, dan United Kingdom berdasarkan Kepulauan Inggris, yaitu:

Inggris adalah wilayah yang punya ibu kota di London dan bukanlah negara berdaulat. Jadi, negara Inggris ada di dalam wilayah Inggris yang besar (Inggris, Skotlandia, Wales).

Britania Raya adalah wilayah yang juga punya ibu kota di London.

Tetapi, merupakan negara berdaulat yang wilayahnya terdiri dari Inggris, Wales, dan Skotlandia.

Baca Juga: Sebelumnya Berjudul 'God Save The Queen', Kini Lagu Kebangsaan Inggris Diubah Menjadi 'God Save The King'

Wilayah Britania Raya inilah yang awalnya dikuasai oleh Raja James I hingga sekarang oleh keturunan-keturunannya.

Sedangkan, United Kingdom (UK) adalah Kerajaan Inggris yang wilayahnya meliputi Britania Raya dan Irlandia Utara.

Awalnya, Irlandia Utara, Republik Irlandia Dan Britania Raya bergabung pada 1801.

Namun, Republik Irlandia keluar, pada 1922 hingga saat ini.

Nah, itulah sejarah panjang tentang Kerajaan inggris yang masih bertahan hingga sekarang.

Kerajaan Inggris saat ini dipimpin oleh Raja Charles III, mulai 8 September 2022 setelah meninggalnya Ratu Elizabeth II.

Baca Juga: Selain Inggris, Negara Mana Saja yang Dipimpin Ratu Elizabeth II Semasa Hidup?

Tonton video ini, yuk!

Ayo, kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.

Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan

Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

Belajar Empati dengan Berbagi, SPK Jakarta Nanyang School Kunjungi Panti Asuhan Desa Putera

KOMPAS.com – Bangsa kolonisator adalah bangsa yang kali pertama melakukan ekspedisi dan menguasai sebuah wilayah beserta sumber dayanya.

Biasanya, bangsa kolonisator akan menargetkan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah.

Salah satu negara yang pernah dijajah oleh bangsa kolonisator adalah Indonesia.

Lantas, siapa bangsa kolonisator pertama di dunia?

Baca juga: Kapan Bangsa Portugis Sampai di Maluku?

Bangsa Kolonisator pertama di dunia adalah dua negara Eropa, yaitu Portugis dan Spanyol.

Pada masa imperialisme kuno, Portugis dan Spanyol merupakan dua kerajaan yang sudah memiliki teknologi jauh lebih canggih dibanding negara lain di Eropa.

Mereka mempunyai kekuatan armada laut, teknologi navigasi, dan perkapalan yang maju.

Sebagai negara yang kuat, Portugis dan Spanyol terus melakukan penjelajahan samudra dan kolonisasi di berbagai wilayah dunia, termasuk Indonesia.

Portugis kali pertama sampai di Indonesia pada 1512-1577, sedangkan Spanyol sampai di Indonesia pada 1521-1692.

Bangsa Portugis disebut sebagai bangsa kolonisator pertama di dunia karena mereka yang memulai dan menemukan rute pelayaran bangsa Eropa ke Asia Tenggara.

Hal ini dilatarbelakangi oleh jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani pada 1453, yang berdampak pada ditutupnya akses perdagangan rempah-rempah bangsa Eropa ke Kawasan Laut Tengah.

Baca juga: Dampak Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Turki Usmani

Kondisi inilah yang kemudian mendorong bangsa Portugis melakukan penjelajahan samudra ke negara lain.

Dengan didukung oleh kekuatan armada laut mereka, Portugis memulai pelayaran mereka dan menemukan rute pelayaran pertama untuk bangsa Eropa.

Oleh karena itu, Portugis disebut sebagai pelopor penjelajahan samudra.

Selain itu, Portugis adalah bangsa Eropa yang kali pertama sampai di Nusantara, tepatnya di Malaka pada 1509.

Paris Saint-Germain berhasil menjuarai Piala Liga Prancis di musim 2019/20. Les Parisiens akan menjadi juara terakhir di turnamen tersebut.

Di Stade de France, Sabtu (1/8/2020) dini hari WIB, PSG susah payah merebut trofi ini dari tangan Lyon. Gagal mencetak gol selama 2x45 menit plus babak tambahan, Neymar dkk baru keluar sebagai juara setelah menang adu penalti 6-5.

Tambahan gelar ini memastikan PSG meraih treble domestik di musim ini, setelah sebelumnya berhasil mengamankan gelar Ligue 1 dan Coupe de France. Namun mereka tak akan bisa lagi meraih gelar ini, sebab Piala Liga Prancis akan ditiadakan mulai musim depan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada September 2019, LFP selaku operator kompetisi sepakbola profesional di Prancis menyebut turnamen ini akan disetop dalam rangka mengurangi kepadatan jadwal kompetisi. Dengan hanya menyisakan Ligue 1 dan Coupe de France sebagai kompetisi domestik, diharapkan istirahat para pesepakbola di Prancis akan lebih banyak.

"Penyetopan ini membuat kami bisa mengurangi kepadatan jadwal, yang bisa memberikan waktu lebih banyak bagi para pemain untuk memulihkan diri" ujar pernyataan LFP, dikutip BBC.

"Namun tergantung pada permintaan pasar, LFP bisa saja menggulirkan kembali kompetisi ini di kemudian hari," sambung pernyataan itu.

Piala Liga Prancis, atau dikenal dengan nama Coupe de la Ligue, merupakan kompetisi paling muda di Prancis. Berbeda dengan Coupe de France yang membolehkan semua klub di persemakmuran Prancis untuk ikut serta, ajang ini hanya boleh diikuti oleh klub-klub di tiga divisi teratas Liga Prancis.

Digelar mulai 1994/95, turnamen ini awalnya terbentuk karena ketidaksukaan klub-klub pro di Prancis dengan sistem Coupe de France. Dengan format satu leg saja, klub-klub divisi bawah dipastikan selalu mendapat jatah tuan rumah di turnamen tersebut.

Uniknya, PSG juga merupakan juara di edisi perdana pada 1995, dan sekarang mereka kembali menjadi juara di edisi penutup kali ini. Secara keseluruhan, Paris Saint-Germain merupakan peraih trofi terbanyak, yakni 9 kali.

Dengan dihapusnya Piala Liga Prancis mulai musim depan, jatah ke Liga Europa lewat klasemen akhir Liga Prancis dipastikan akan bertambah.

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada tanggal 3 September 2024, menjadi momen istimewa bagi umat Katolik. Bagaimana gak istimewa, kunjungan Paus ke Indonesia bisa dibilang termasuk jarang. Kunjungan terakhir dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1989 lalu.

Rencananya, Paus Fransiskus akan melakukan sejumlah agenda selama berada di Indonesia. Ia juga akan mengadakan misa akbar di Gelora Bung Karno Jakarta. Setelahnya, ia berkunjung ke Papua Nugini pada 6 September 2024 mendatang.

Membahas tentang Paus, sejauh ini, terdapat 266 Paus yang telah menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama Katolik. Paus Fransiskus merupakan Paus yang kini menjabat. Jika Paus Fransiskus adalah pemimpin umat Katolik saat ini, lalu siapa paus pertama dalam gereja Katolik?

Rafathar Malik Ahmad adalah nama anak pertama Raffi Ahmad

Rafathar anak pertama Raffi Ahmad memiliki nama asli Rafathar Malik Ahmad. Dia lahir secara caesar pada tanggal 15 Agustus 2015 silam pada pukul 08.45 WIB di Rumah Sakit Bunda, Menteng, Jakarta Pusat.

Sosok Rafathar memang sudah sangat populer di kalangan publik. Dia sendiri telah bermain di film layar lebar berjudul Rafathar saat berusia 2 tahun. Tak sampai di situ, Rafathar sejak kecil juga tampil bersama orangtuanya di reality show bernama Janji Suci Raffi & Gigi.

Paus merupakan seorang pemimpin agama Kristen Katolik

Paus adalah kepala gereja, sekaligus juga pemimpin tertinggi dalam agama Katolik. Seorang Paus dipilih melalui pertemuan tertutup yang dilakukan oleh para pejabat gereja senior di Kapel Sistina yang berada di Vatikan, Eropa.

Proses pemilihan ini disebut dengan Konklaf. Setelah dipilih, Paus melakukan banyak tugas dan tanggung jawab. Di antaranya adalah menentukan posisi gereja dalam banyak isu, mengangkat uskup, dan memberikan penugasan kepada uskup tersebut ke wilayah tertentu.

Nama Rafathar diambil dari bahasa Arab, Malik berasal dari nama almarhum kakek Raffi

Nama yang dimiliki Rafathar ternyata memiliki maknanya tersendiri lho, Ma.

Raffi sempat menjelaskan bahwa nama Rafathar diambil dari bahasa Arab yang berarti anak pertama yang ditinggikan derajatnya. Sementara nama Malik diambil Raffi dari nama mendiang sang kakek yang memiliki arti penguasa raja.

Kemudian, nama Ahmad pada Rafathar merupakan nama keluarga Raffi yang kabarnya sempat disarankan oleh mendiang papanya Raffi melalui mimpi.

Dulu, Rafathar sempat dipanggil warganet dengan sebutan Embul

Saking populernya, Rafathar dulu memang sempat mencuri perhatian warganet. Oleh karena itulah, Rafathar akhirnya punya panggilan kesayangan dari warganet di masa lalu. Adapun panggilan kesayangan itu adalah 'Embul'.

Pemberian nama khusus itu ternyata bukan tanpa alasan. Kabarnya, nama panggilan Embul diberikan warganet karena Rafathar saat baru lahir memiliki pipi yang cukup berisi hingga membuat hidungnya tampak pesek.

Kini, Rafathar telah tumbuh menjadi anak laki-laki dan akan menjadi seorang remaja.

Siapa Nama Anak Pertama Raffi Ahmad?

Namanya Santo Petrus disebutkan dalam Alkitab

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Awalnya, Santo Petrus berprofesi sebagai nelayan bernama Simon. Ia kemudian bertemu Yesus yang memanggilnya dengan nama Kefas, atau Petros dalam Bahasa Yunani. Nama Santo Petrus ternyata beberapa kali disebutkan dalam Alkitab. Salah satunya di Matius 16:18-19, ketika Yesus memanggil Petrus dengan sebutan “Kefas”.

Dalam Bahasa Aramaic Kuno, kefas memiliki arti 'batu karang'. Batu karang di sini berarti Santo Petrus akan menjadi dasar fondasi bagi gereja Katolik. Gak hanya menjadi dasar bagi berdirinya gereja, ia juga disebut sebagai “Gembala Utama” yang bertugas untuk memimpin umatnya di Bumi, seperti seorang gembala yang menuntun kawanannya.

Baca Juga: Apa Itu Paus dalam Katolik? Ini Penjelasannya!

Nagita Slavina punya alasan Rafathar dipanggil Aa

Berbeda dengan warganet, Mama Gigi justru sudah lama memanggil Rafathar dengan panggilan Aa. Nama panggilan itu sudah diberikan Gigi saat Rafathar belum memiliki adik.

Gigi sudah pernah menjelaskan alasan tersebut saat menjadi bintang tamu di program Sarah Sechan yang tayang di NET TV. Kata Gigi, panggilan itu diberikan karena tidak ingin Rafathar menganggap dirinya seperti baby.

"Kita sebenarnya panggilnya (Rafathar), Aa. Jadi, itu dulu awalnya kenapa dipanggil Aa, tadinya dipanggil Rafathar. Nah, terus dia suka lihat bayi-bayi, kita bilang 'Rafathar itu baby'. Dia itu pengin bilang dirinya sendiri baby," kata Nagita dalam video yang diunggah ke YouTube 28 Juli 2017.

"Kalau sekarang lucu, coba 10 tahun lagi. Sama teman, 'Mama, mama, baby minta mi'. 'Kan nggak lucu," sambungnya.

Kalau dilihat dari artinya, Aa adalah kata panggilan dalam bahasa Sunda untuk kakak laki-laki dalam keluarga. Umumnya, ini juga menjadi panggilan sayang dari orangtua untuk anaknya laki-laki yang lebih tua.

Jadi, itulah rangkuman beberapa fakta tentang Rafathar. Lewat informasi di atas, Mama kini jadi tahu lebih dekat tentang nama pertama Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.